MEMBONGKAR MITOS BULAN
MEMBONGKAR MITOS BULAN SUROHampir mirip dengan ritual Suro yang dilakukan masyarakat negeri ini, Mesir dahulu punya kebiasaan serupa. Ada ritual persembahan tumbal ke Sungai Nil. Tumbalnya adalah seorang gadis yang masih perawan, lalu dihiasi dengan pakaian dan perhiasan yang bagus dan mewah, sebelum dilemparkan ke sungai Nil.
Penyikapan yang salah terhadap kedatangan bulan Suro telah melahirkan keyakinan, mitos dan ritual yang menjerumuskan kepada kesyirikan. Kita harus tahu mengapa ritual-ritual itu sangat berbahaya bagi aqidah kita. Mari kita bongkar mitos bulan Suro sebelum mitos itu membongkar iman kita. Dalam bulan Suro, ada ritual pemandian pusaka-pusaka dan benda-benda yang dikeramatkan. Ritual itu muncul, karena sikap yang berlebihan terhadap barang-barang tersebut. Masih banyak masyarakat yang meyakini bahwa di setiap benda-benda ada penunggunya. Yang membuat benda tersebut lebih ampuh dan sakti dibanding benda-benda lainnya yang sejenis. Mereka khawatir – terutama pemiliknya – kalau tidak menyediakan sesajen atau melakukan ritual pemujaan, penunggunya tidak betah atau kabur meninggalkan benda tersebut, akhirnya keampuhannya dan kesaktiannya sirna, atau membikin ulah. tulah bentuk pengagungan dan ketakutan yang ditujukan kepada selain Allah. Dalam lslam hal itu termasuk bagian dari bentuk kesyirikan. Rasulullah bersabda: “Siapa yang menggantungkan jimat, maka dia telah syirik.” (HR. Ahmad). Di riwayat lain: “Siapa yang bergantung pada sesuatu maka diserahkan kepadanya (Allah berlepas diri dari orang itu).” (HR. Tirmidzi). Kalau mereka yakin pusaka yang dikoleksi berpengaruh dalam siklus kehidupan, sehingga tiap tahun dipuja dan dimandikan, dan jika suatu saat ritual itu ditinggalkan, lalu terjadi bencana, maka itulah akibat dari keyakinan yang salah. Akhirnya mereka semakin yakin dengan benda itu dan semakin tersesat. Itulah kehinaan yang diberikan Allah. Berkaitan dengan masalah ini lbnu Katsir mencatat suatu riwayat yang menarik untuk kita sirnak dalam kitabnya. Ketika Rasulullah dan para sahabat keluar dari Makkah menuju Hunain, mereka melihat orang-orang kafir bergerombol di bawah pohon yang dinamakan dzatu anwath dan mereka menggantungkan senjata-senjata di pohon tersebut. Saat mereka melewati pohon lain yang sejenis, mereka berkata: “Wahai Rasulullah jadikanlah untuk kami (pohon itu) sebagai dzatu anwath seperti yang mereka miliki.” Rasulullah bersabda: “Demi Allah kalian telah meminta seperti permintaan kaum Musa kepada Musa (ketika selamat dari kejaran Firaun): “Hai Musa buatlah untuk kami tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Musa menjawab: “Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan). Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan apa yang mereka lakukan itu bathil.” (QS. Al-‘Araf: 138- 139). Kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” (Tafsir lbnu Katsir: 2/257). Ada lagi ritual mandi suci yang mereka yakini bisa menambah keberkahan. lni adalah keyakinan yang dipaksakan. Apalagi hanya dengan mandi ditempat tertentu, dan tempat tersebut bukan termasuk yang direkomendasikan oleh Rasulullah untuk dikunjungi, atau dijadikan sarana untuk memohon berkah dari Allah. Limpahan rizki yang dicari dengan cara mandi ditempat tertentu, merupakan cara yang tidak dibenarkan oleh logika akal sehat. Lebih-lebih kalau ditinjau dari syariat lslam, Rasulullah tidak pernah menyuruh sahabat yang seret rizkinya untuk mandi dengan air zam-zam atau air sungai tertentu agar rizkinya melimpah. Justru Rasulullah senantiasa memerintahkan umatnya untuk bekerja dan berusaha serta berdoa dalam mengais rizki, agar Allah memperlancar dan memberkahinya. Rasulullah pernah berpesan ke Abdullah bin Umar: “Apa yang membuat berat salah seorang dari kalian saat mengalami kesulitan dalam penghasilannya untuk membaca doa ketika keluar dari rumahnya: “Dengan nama Allah, kuserahkan diriku, harta dan sgamaku. Ya Allsh jadikanlah aku ridha menerima keputusan-Mu dan berkahilah apa yang sudah ditakdirkan untukku, sehingga aku tidak ingin mempercepat apa yang engkau lambatkan dan memperlambat apa yang Engkau segerakan.” (HR. lbnu Sunni). Adapun ritual mandi dengan tujuan untuk mensucikan diri. Kalau yang dimaksud dengan mensucikan adalah membersihkan badan dari debu dan kotoran yang melekat di tubuh, maka setiap orang yang mandi memang tujuannya seperti itu. Dan tidak perlu pergi ke pemandian khusus atau memilih waktu-waktu tertentu, karena setiap saat bisa dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari model ritualnya, dengan memilih tempat-tempar khusus dan diwaktu-waktu tertentu, pasti ada niatan tertentu pula. Dan yang mereka maksud menyucikan diri dalam ritual tersebut adalah melebur dosa-dosa atau membuang kesialan yang ada dalam diri. lslam tidak mengajarkan pemeluknya untuk menghapus dan melebur dosa dengan ritual mandi di tempat tertentu dan di waktu tertentu. Media dan fasilitas yang disediakan oleh Allah untuk melebur dosa-dosa adalah dengan mengerjakan amal-amal kebaikan dan kewajiban-kewaiiban yang sudah diperintahkan. Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. ltulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hud: 114). Rasulullah juga bersabda: “Apa pendapat kalian bila ada sungai yang mengalir di depan pintu salah seorang dari kalian, Ialu dia mandi setiop harinya lima kali, apakah ada kotoran yang masih tersisa ditubuhnya?” Para sahabat menjawab: “Tidak akan ada kotoran ditubuhnya wahai Rasulullah.” Rasulullah menimpali: “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, mandi di tempat-tempat keramat itu, bukannya mensucikan justru melumuri tubuh ini dengan dosa. Sedangkan ritual pelarungan kepala kerbau atau ayam wungkul dan yang sejenisnya di laut atau danau, agar tidak diganggu oleh penunggunya dan supaya kepentingan masyarakat sekitar tidak terancam. Hal itu sangat bertentangan dengan syariat lslam, dan termasuk peribadatan kepada selain Allah. Allah telah mencela perbuatan mereka dengan firman-Nya: “Katakanlah: ‘Mengapa kamu menyembah selain Allah, sembahan yang tidak dapat memberi mudharat (bahaya) kepadamu dan juga tidak memberi manfaat. Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 76). Ritual serupa pernah mentradisi di Mesir sebelum ditaklukkan oleh pasukan lslam. Hampir mirip dengan ritual Suro yang dilakukan masyarakat pesisir pantai selatan (laut kidul). Ketika Mesir telah ditaklukkan oleh Pasukan lslam, ‘Amr bin ‘Ash mulai berinteraksi dengan penduduk setempat pada awal tahun baru kalender (bangsa Qibti). Para penduduk bercerita tentang ritual persembahan tumbal seorang gadis yang masih Perawan, lalu dihiasi dengan pakaian dan perhiasan yang bagus dan mewah, sebelum dilemparkan ke sungai Nil. ‘Amr bin ‘Ash menolaknya dan menegaskan bahwa tradisi itu tidak pernah ada dalam lslam. Tetapi ketika tradisi itu tidak dilaksanakan, ternyata sungai Nil tidak mengalir sama sekali. Akhirnya penduduk semakin yakin dan bersikukuh untuk melaksanakan ritual tahunan tersebut. Ketika ‘Amr melihat gelagat buruk itu, serta merta dia mengirim surat ke Khalifah Umar bin Khaththab menceritakan masalah Nil. Lalu Umar membalasnya dan membenarkan sikap ‘Amr yang memerangi ritual kemusyrikan tersebut. Umar membalas surat Amr dengan menyelipkan di dalamnya selembar kartu untuk dilemparkan ke sungai Nil. Amr membuka kartu tersebut, didalamnya tertulis: “Dari hamba Allah, lJmar bin Khaththab Amirul Mukminin kepada sungai Nil di Mesir, amma ba’du: Kalau kamu mengalir karena inisiatif kamu sendiri, maka janganlah mengalir! Sedangkan jika Allah yang mengalirkan kamu, maka saya berdo’a kepada Allah yang Maha Esa dan Perkasa untuk membuatmu mengalir.” Kemudiin Amr melemparkan surat tersebut sehari sebelum ritual tahunan digelar. Hasilnya sangat menakjubkan!!! Allah mengalirkan air sungai Nil dalam semalam pasangnya setinggi enam belas dzira (sekitar 12 M). Tradisi ritual kemusyrikan akhirnya sirna dengan izin Allah sampai sekarang. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar. (Tarikhul Khulafa: 128 – 129). Kita harus menumbuhkan semangat mengikis kesyirikan tersebut. Karena kalau kita tidak peduli, lalu dari mana kita akan mengharapkan keberkahan dan kemakmuran bangsa kita? Apakah kita iuga akan mengharapkannya dari para penunggu tempat-tempat angker? Ataukah kita juga akan memohon keselamatan dari “Nyi-Nyi” yang menjadi cerita legenda rakyat kita? Lupakah kita bahwa menciptakan langit dan bumi beserta isi dan penghuninya adalah Allah? Kemana perginya keyakinan kita bahwa yang mengatur dan memelihara jagad raya ini adalah Allah yang Maha Perkasa? Kenapa kita melupakan ikrar janji kita dalam setiap shalat? “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5). Allah menjanjikan keberkahan, melimpahnya rizki dan makmurnya suatu negeri jika semua penduduknya mau beriman dan bertaqwa, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-larangan-Nya, termasuk ritual-ritual yang tidak pernah diperintahkan Rasulullah atau dicontohkannya. Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari diwaktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari Adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari Adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 96 – 99). Saudaraku! Belum cukupkah rentetan bencana gempa bumi yang berturut-turut menimpa negeri ini? Belum puaskah kita menyaksikan tragisnya dampak banjir yang melanda negeri ini? Atau kita masih mengharap bertambahnya tanah longsor yang telah melanda beberapa wilayah negeri ini? Sampai kapan kita terus bertopang dagu untuk menunggu adzab Allah berikutnya dengan tetap membiarkan ritual-ritual kemusyrikan menghiasi bumi-Nya ini? lman ini harus dibersihkan, bumi Allah juga harus disucikan dari segala ritual kesyirikan, agar kembali keberkahan dan kemakmuran negeri. (Sumber Majalah Ghoib edisi 13/2, ilustrasi pinkkorset.com) |
BULAN SURO BULAN NAAS
Bulan Suro Bukan Bulan Naas – Serial Rumah Ruqyah
Ust. Hasan Bishri, Lc. (Praktisi Ruqyah GRAHA Ghoib Jakarta 021-7037 4645, 0815 816 7874) Pendahuluan Bismillah wal Hamdulillah. Sampai saat ini masih banyak kaum muslimin yang tinggal di negri ini meyakini bahwa bulan suro adalah Bulan Naas (Sial). Apakah keyakinan itu dibenarkan dalam syari’at Islam? Lalu bagaimana kita menyikapinya? Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Tahun Jawa. Karena kalender tahun Jawa disamakan konsepnya dengan kalender Islam Hijriyah, maka bulan suro sama dengan bulan Muharram dalam hitungan tahun Hijriyah. Entah mengapa, nama Muharram diganti dengan Suro. Menurut hemat penulis, bulan Suro itu diambil dari hari yang monumental di bulan Muharram itu sendiri, yaitu hari 'Asyuro. Hari yang jatuh pada tanggal sepuluh Muharram dalam kalender Hijriyah. Karena penyebutan 'Asyuro agak berat pengucapannya di lidah orang Jawa, maka diambillah kata ujungnya aja, yaitu Suro. Sedangkan untuk mengetahui jawaban pastinya tentu kita harus bertanya kepada para pendahulu kita yang telah merumuskan konsep penentuan kalender Islam ala Jawa tersebut. Dan menurut sumber yang ada, si pencetus Kalender Islam ala Jawa adalah Sultan Agung Mataram. Perumus Kalender Jawa Pada waktu Sultan Agung berkuasa, Islam telah diakui menjadi agama di lingkungan istana Mataram Islam. Maka untuk tetap meneruskan penanggalan Tahun Saka yang berasal dari leluhurnya, dan ingin mengikuti penanggalan Tahun Hijriyah, maka Sultan Agung membuat kebijakan mengubah Tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya. Sementara penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Nama-nama bulan pada Tahun Jawa pun dibuat lain dan berbeda dengan nama-nama Tahun Hijriyah. Tentu saja disesuikan dengan ucapan masyarakat Jawa. Seperti bulan Muharram di tahun Jawa menjadi bulan Suro, bulan Shafar = Sapar, bulan Rabi'ul Awal = Maulud, bulan Rabi'ul Tsani = Bakda Maulud, bulan Jumadil Ula = Jumadil Awal, bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akir, bulan Rajab = Rejeb, bulan Sya'ban = Ruwah, bulan Ramadhan = Poso, bulan Syawwal = Sawal, bulan Dzulqa'dah = Dulkaidah, dan bulan Dzulhijjah = Besar. Keutamaan Bulan Suro Jika yang kita maksud dengan bulan Suro di sini adalah bulan Muharram seperti dalam hitungan kalender Islam Hijriyah, maka bulan Suro adalah bulan yang mulia. Karena bulan Suro termasuk empat bulan yang disucikan, yang dalam bahasa al-Qur'an dan Hadits disebut sebagai "arba'atun hurum". Sebagaimana yang tercantum dalam surat at-Taubah ayat 36. Allah ta’ala berfirman, "Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu…". (QS.At-Taubah: 36). Bulan apa saja yang masuk dalam kelompok aarba'atun huru (empat bulan yang disucikan atau dimuliakan)? Rasulullah menjawab pertanyaan itu melalui sabdanya, "Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati: tiga bulan berturut-turut; Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, bulan yang terhimpit antara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan Rasulullah menyebut bulan Suro (baca; bulan al-Muharram) sebagai bulan Allah (syahrulloh). Dan tidaklah suatu nama disandarkan (disandingkan) dengan nama Allah (lafzhul Jalalah), kecuali nama itu adalah mulia atau menjadi mulia di sisi Allah. Seperti baitullah (rumah Allah) sebagai sebutan untuk masjid. Kitabullah (kitab Allah) sebagai sebutan untuk al-Qur’an. Dan lain-lainnya. Suro bulan Kemenangan KH. Musthofa Bisri hafizhohullah (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah yang sering dipanggil dengan Gus Mus), pernah ditanya ‘Kenapa bulan Suro dianggap bulan sial?’ Beliau berkata, kalau ada kepercayaan bahwa bulan Suro itu merupakan "bulan gawat" atau "bulan sial", boleh jadi itu ada kaitannya dengan tragedi terbunuhnya sayyidina Huesin bin Ali radhiyallohu’anhuma yang terjadi pada hari Asyuro di tanggal sepuluh bulan Muharram. Dalam khazanah kitab kuning sendiri, ada juga pendapat yang menghubung-hubungkan puasa Asyuro dnegan musibah Husein tersebut. Selain itu, maaf, saya tidak tahu. Mengapa orang mengira bulan Suro itu bulan "serem", mengapa orang pada mengeluarkan senjata dan memandikannya, mengapa orang "nyiriki" bulan itu untuk melaksanakan perhelatan dan sebagainya, terus terang saya tidak tahu. Kalau hal itu benar, artinya bulan itu memang bulan "gawat" dan "sial" ya kasihan orang Jawa dong. Wong yang punya Suro cuma orang Jawa.” (Pesantren Virtual.com). Jika kita kembali kepada sejarah Islam, bulan Suro (baca; hari ‘Asyuro di bulan al-Muharram) justru dikenang sebagai bulan kemenangan dan kejayaan. ‘Asyuro Itu adalah hari baik, bukan hari sial atau naas. Tidak hanya kaum muslimin yang menganggap hari ‘Asyuro sebagai hari kemenangan, orang-orang Jahiliyah, orang-orang Yahudi dan Nashrani juga menganggap seperti itu. Lalu kenapa sebagaian kaum muslimin sampai saat ini masih punya anggapan bahwa bulan Suro sebagai bulan Naas. Masak lebih bodoh daripada orang Jahiliyah? Riwayat berikut menegaskan bahwa Suro itu bulan kemenangan, bukan bulan Naas atau sial. Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, "Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari Asyura, Nabi Saw. bertanya: 'Hari apa ini?' Jawab mereka: 'Hari ini hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka, karena itu Musa mempuasainya.' Sabda Nabi Saw.: 'Aku lebih berhak daripadamu dengan Musa. Karena itu Nabi Saw. Berpuasa di hari itu dan menyuruh (ummatnya) untuk berpuasa juga.'" (HR. Bukhari). Suro, Puasa yang Utama Jika yang kita maksud dengan suro di sini adalah bulan al-Muharram, maka puasa di bulan tersebut merupakan puasa sunnah yang paling utama. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) al-Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (H.R. Muslim). Imam Zamakhsyari rahimahullah berkata, “Bulan al-Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut.” (Kitab Faidhul Qodir: 2/53). Hari ‘Asyuro dan al-Muharram Hari ‘Asyuro adalah hari kesepuluh di bulan Muharram. Ia merupakan hari yang sangat bersejarah, banyak peristiwa penting dan monumental dalam sejarah beradaban manusia yang terjadi di hari ‘Asyuro. Sehingga salah besar kalau saat ini ada yang berkeyakinan bahwa Suro merupakan hari sial atau bulan naas. Karena sejarah telah membuktikan akan agungnya hari ‘Asyuro, sehingga hari tersebut patut kita kenang dan kita syukuri. Diantara peristiwa penting yang terjadi pada hari ‘Asyuro atau tanggal 10 Muharram adalah selamatnya Nabi Musa dan Kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Itu merupakan karunia agung dari Allah bagi kaum yang beriman saat itu. Sehingga nabi Musa pun mengenangnya dengan melakukan ibadah puasa sebagai bentuk syukurnya pada Allah atas nikmat tersebut. Dalam kehidupan nabi Musa, ‘Asyura saat itu merupakan hari keberuntungan bagi nabi Musa dan kaumnya, dan merupakan hari petaka bagi Fir’aun dan kaumnya. Jadi kalau kita menganggap Suro sebagai hari sial atau bulan naas, berarti kita termasuk kelompok Fir’aun dan bala tentaranya yang saat itu mengalami petaka saat itu, yaitu ditenggelamkan Allah dala lautan. Ibnu Abbas radhiyallohu’anhuma berkata, "Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini? Mereka menjawab: “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda: "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian". Maka beliau nerpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim). Jangan mencela Suro Sesungguhnya kita tidak boleh mencela waktu termasuk bulan Suro, yaitu mengatakan bahwa hari ini hari sial, bulan ini bulan naas, dan perkataan lain yang sejenis. Karena waktu itu beredar dan berputar tidak dengan sendirinya, tapi ada yang mengaturnya, yaitu Allah. Kalau kita mencela waktu, itu sama halnya dengan mencela yang mengatur dan memutar waktu, yaitu Allah. Dan itu merupakan sikap kurang ajar dan tidak sopan, pelakunya telah berbuat dosa besar dan akan mendapat adzab yang pedih. Dalam hadits qudsi disebutkan, bahwa Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000). Dalam riwayat lain, “Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ‘Ya khoybatad dahr’ [ungkapan untuk mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan dengan berkata: ‘Ya khoybatad dahr’. Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001). Tiga Jenis pencela waktu Tidak semua orang yang mencela waktu itu berdosa besar, tergantung niat (maksud) dan ungkapan kata-katanya. Dalam masalah ini ulama kita membagi menjadi tiga kategori, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (semasa hidupnya menjabat sebagai anggota dewan riset dan fatwa kerajaan Arab Saudi). Pertama; jika orang tersebut hanya bermaksud memberitakan realita yang ada, bukan untuk mencela, maka ini dibolehkan alias tidak berdosa. Misalnya, saat musim kemarau berkepanjangan, ada orang berkata: ‘Udara siang ini panas sekali’. Atau saat mengalami krisis moneter, ada orang yang berkata, ‘Usaha kita saat ini mengalami kesulitan’. Dan ungkapan sejenis lainnya yang menceritakan kondisi yang ia alami apa adanya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Ungkapan seperti itu pernah diucapkan oleh Nabi Luth, dan itu diabadikan dalam al-Qur’an. “Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud: 77). Kedua; jika orang tersebut berkeyakinan bahwa waktulah yang membuat dia tidak beruntung atau mengalami kesialan. Seakan mereka mengatakan bahwa ketidak beruntungannya disebabkan datangnya waktu atau bulan tertentu. Seperti bulan Suro ini. Banyak masyarakan kita yang berkeyakinan bahwa Suro merupakan bulan sial. Jangan menggelar event atau acara di bulan Suro, karena akan engalami kegagalan atau kesialan. Mereka menganggap bahwa bulan Surolah yang membolak-balikkan perkara menjadi buruk, menjadi sial atau gagal. Ungkapan dan keyakinan seperti itu termasuk syirik akbar (besar). Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pengatur lain dalam hidup kita selain Allah atau bersama Allah. Ketiga; jika orang tersebut mencela waktu, karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram (berdosa) tapi tidak sampai derajat syirik besar. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ’dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Ia mengalami kegagalan dalam usahanya karena merasa waktu yang tidak tepat, waktu yang diyakini tidak memihak usahanya sehingga ia gagal total. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. Penutup Allah ta’ala berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30). Syekh Shalih bin Fauzan hafizhohullah berkata, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat Kitab I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah) Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’azza wa jalla. Dengan demikian, jangan berkeyakinan bahwa bulan Suro adalah Bulan Sial. Wallohu ‘alam. |
BULAN SURO BULAN KESELAMATAN
Bulan Suro Bulan Keselamatan – Serial Tempat Bekam Jakarta
Ust. Hasan Bishri, Lc. (Praktisi Ruqyah Graha Ghoib, Jakarta 021-7037 4645, 0815 816 7874)Sejarah ‘Asyura Bulan Suro adalah bulan pertama dalam Kalender Jawa Islam, sedangkan Muharram adalah bulan pertama dalam Kalender Hijriyah. Bagi orang Jawa atau mereka yang menggunakan Kalender Jawa Islam, bulan Suro adalah nama lain dari bulan Muharram. Mungkin nama Suro itu diambil dari nama hari yang sangat fenomenal di bulan ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh yang dalam syari’at Islam disebut dengan hari ‘Asyura (‘Asyuro). Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran. Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah. Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita. (Wikipedia). Suro Hari Keselamatan Dalam beberapa kitab disebutkan bahwa banyak peristiwa heroik (kegembiraan dan keselamatan) yang terjadi di bulan Muharram (Suro), terutama di tanggal sepuluh (‘Asyura). Di antaranya adalah; hari diterimanya taubatnya Nabi Adam ‘alaihis salam. Hari berlabuhnya kapal Nabi Nuh ‘alaihis salam hingga para penumpangnya di dalamnya selamat dari banjir bandang. Hari selamatnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dari kobaran api Raja Namrud. Hari keluarnya Nabi Yunus ‘alaihis salam dari perut Ikan. Hari kesembuhan Nabi Ayyub ‘alaihis salam dari penyakit yang telah dideritanya selama 18 tahun. Hari dibebaskannya Nabi Yusuf ‘alaihis salam dari penjara akibat fitnah Zulaikha. Namun dari sekian banyak peristiwa bersejarah tersebut, penulis hanya menemukan 2 peristiwa saja yang dilandaskan pada dalil hadits yang shahih. Sedangkan peristiwa lainnya hanyalah qiila wa qoola (katanya atau konon). Shahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam tiba di Madinah, beliau menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Beliau bertanya kepada mereka: “Hari apa ini, kalian berpuasa padanya?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari Istimewa, di mana Allah telah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis salam beserta kaumnya, dan Allah menenggelamkan Fir’aun beserta pasukannya. Nabi Musa ‘alaihis salam berpuasa (padanya) sebagai rasa syukur kepada Allah, oleh karena itu kami juga berpuasa. Rasulullah bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih utama kepada Nabi Musa dari pada kalian”. Rasulullah pun tetap berpuasa, dan beliau memerintahkan (para sahabatnya) untuk berpuasa juga.” (HR. Muslim). Abu Hurairah radhiyallahu’anh berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam melewati sekelompok orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari ‘Asyura’. Rasulullah bertanya: “Kalian puasa apa ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis salam dan Bani Israil dari tenggelamnya (di Laut Merah). Pada hari ini juga Allah menenggelamkan Fir’aun. Pada hari ini juga perahu Nabi Nuh ‘alaihis salam berlabuh di gunung Judiy. Nabi Nuh dan Nabi Musa ‘alaihimas salam pun berpuasa padanya sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah bersabda kembali: “Aku lebih berhak atas Musa, dan aku juga lebih berhak untuk berpuasa pada hari ini”. Rasulullah pun memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa juga.” (HR. Ahmad). Suro Bukan Bulan Sial KH. Musthofa Bisri hafizhohullah (Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah yang sering dipanggil dengan Gus Mus), pernah ditanya ‘Kenapa bulan Suro dianggap bulan sial?’ Beliau berkata, kalau ada kepercayaan bahwa bulan Suro itu merupakan "bulan gawat" atau "bulan sial", boleh jadi itu ada kaitannya dengan tragedi terbunuhnya sayyidina Huesin bin Ali radhiyallohu’anhuma yang terjadi pada hari Asyuro di tanggal sepuluh bulan Muharram. Dalam khazanah kitab kuning sendiri, ada juga pendapat yang menghubung-hubungkan puasa Asyuro dnegan musibah Husein tersebut. Selain itu, maaf, saya tidak tahu. Mengapa orang mengira bulan Suro itu bulan "serem", mengapa orang pada mengeluarkan senjata dan memandikannya, mengapa orang "nyiriki" bulan itu untuk melaksanakan perhelatan dan sebagainya, terus terang saya tidak tahu. Kalau hal itu benar, artinya bulan itu memang bulan "gawat" dan "sial" ya kasihan orang Jawa dong. Wong yang punya Suro cuma orang Jawa.” (Pesantren Virtual.com). Ada satu lagi menurut penulis yang menyebabkan banyak orang yang menganggap bulan Suro adalah bulan Sial. Yaitu pengaruh keyakinan animisme dan dinamisme yang masih melekat dalam keyakinan mereka. Sebagaimana diceritakan dalam dunia Wayang. Ada sosok Batara Kala (Raksasa jahat pemangsa manusia), yang katanya berkeliaran di bulan Suro ini untuk mencari mangsa. Batara Kala mengincar anak manusia yang tipenya Sukerta (salah kejadian) untuk dijadikan mangsa. Sehingga manusia tipe Sukerta harus diruwat agar selamat. Itu kata mereka. Jangan Mencela Bulan Suro Sesungguhnya kita tidak boleh mencela waktu termasuk bulan Suro, yaitu mengatakan bahwa hari ini hari sial, bulan ini bulan naas, dan perkataan lain yang sejenis. Karena masa atau waktu itu beredar dan berputar tidak dengan sendirinya, tapi ada yang mengaturnya, yaitu Allah. Kalau kita mencela waktu atau masa, itu sama halnya dengan mencela yang mengatur dan memutar waktu, yaitu Allah. Dan itu merupakan sikap kurang ajar dan tidak sopan, pelakunya telah berbuat dosa besar dan akan mendapat adzab yang pedih. Dalam hadits qudsi disebutkan, bahwa Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000). Dalam riwayat lain, “Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ‘Ya khoybatad dahr’ [ungkapan untuk mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan dengan berkata: ‘Ya khoybatad dahr’. Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001). Bulan Suro atau Muharram seperti bulan yang lain. Kalau kita isi dengan kezhaliman dan kemaksiatan, maka pelakunya akan mendapatkan dosa dan murka Allah. Kalau kita isi dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka akan menjadi bulan keberuntungan karena pelakunya dapat limpahan pahala dari Allah. Bahkan Syari’at Islam telah menegaskan bahwa bulan Muharram itu bulan Suci, bulan dilipatgandakannya pahala dari kebaikan kita, dan bulan dilipatgandakannya dosa dari kemaksiatan kita, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah di surat at-Taubah ayat 36. Demikian, semoga bermanfaat, wallohul musta’an. |